24 Desember 2014

Mahabbah Rindu Dibalik Penjara Suci

Mahabbah Rindu Dibalik Penjara Suci

Ya Sayyidi Ya Rasululaah, Ya Man lahul Jaa ‘Indallah,

Innal Musii Inna Qodja’uu, Lidzambi Ya Astagfirunallah,

Ya Sayyidar Rusli Ya Thohir, Ya Ghoyatal Qosdhi Wasyani,

Sholla ‘Alaikal ‘Alal Qodiir, Fikulli Waakhtim Wa Ahyani....

Gema takbir dan sholawat memenuhi Masjid Baitussholihin. Tiada henti menyeru dan menyebut asma Allah dan Rasul-Nya. Hasna Zharifa, satriwati baru di Pondok Pesantren Darul Falah terlihat berjalan menyusuri lorong sempit yang menghubungkanya dengan rumah kyai Rahman. Sembari berdialog dengan hatinya, Hasna teringat pertengkaran dengan ayahnya sebulan lalu. Beliau menolak keras permintaanya untuk nyantri disini. Namun bundanya mendukung rencana tersebut. Berbekal restu bundanya, Hasna berangkat mencari ilmu di pesantren.
Sesampainya di ndalem (Sebutan rumah) Kyai Rahman, umi Salma menyambut kedatangan Hasna dengan sukacita. Umi Salma ini istri dari kyai Rahman, pemilik Ponpes Darul Fallah. Sosok yang sudah tidak asing lagi bagi Hasna, karena umi Salma ini teman dari bundanya sendiri.
 “Assalmualaikum, umi,”
“Waalaikumsalam. Ada apa Hasna?” ucap umi Salma.
“Hasna ingin mengembalikan Kitab Alfiyah ini Umi,”
“Sudah beli yang baru Na. Besok bantuin Umi di ndalem ya...akan ada syukuran, Abah pulang umroh,”
“Insyallah...Hasna pamit Umi. Assalamualaikum!” Ucap Hasna seraya meninggalkan umi Salma.
***
Suasana pesantren begitu nyaman dan sejuk bagi Hasna, suasana yang menggetarkan hatinya untuk terus menyebut asma Allah. Istilah penjara suci memang pantas di sandang pesantren yang menjadi tempat menimba ilmu agama. Jauh dari keluarga, tinggal dalam asrama, bertemu dengan kawan-kawan dari seluruh penjuru nusantara. Saling berbagi dan kebersamaan begitu kuat terjalin di lingkungan para santri. Mereka semua semata-mata belajar agama hanya mengharap ridho illahi.
Selepas isya’, Hasna mengikuti kajian kitab kuning ‘Qurotul Uyun’ oleh umi Salma. Terkantuk-kantuk dia ngapsahi kitabnya. Maklum saja, Hasna masih menjadi mahasiswa di IAIN Walisongo. Kesibukanya di kuliah menuntut ia untuk sering begadang mengerjakan tugasnya.
“Ukhti(panggilan perempuan)Hasna...bangun,” bisik seorang gadis cantik disampingnya.
 “Iya ukhti, sudah selesai kajianya?” tanya Hasna pada gadis yang bernama Farida.
“Sudah ukhti. Mari kembali ke kamar...ukhti kelihatan capek sekali,”
            Memasuki semester 6 benar-benar menyita kesibukan Hasna. Persiapan PPL, KKN dan skrispsi mulai menjadi pekerjaan dalam waktu dekat ini. Ia seringkali bolos kajian dan meninggalkan kegiatan di pesantren. Hasna ingin membuktikan pada Ayah dan Bundanya bahwa kuliah sekaligus nyantri itu bisa dilakukan bersama. Namun Hasna tidak bisa menutupi kegundahan hatinya, ia terlampau lelah melakukan rutinitasnya, menjadi mahasiswa dan seorang santriwati.
“Ukhti Farida, besok pondok jadi ada tasyakuran abah Rahman,” tanya Hasna
“Iya ukhti, bukanya umi Salma sudah berpesan untuk membantunya dalam  acara itu,” Jawabnya.
“Iya, tidak sepantasnya kita tidak hadir ya ukhti,” Jawab Hasna sembari merebahkan badanya di kasur. Berharap pagi datang lebih lambat. Hasna ingin total istirahat. Badanya sudah mengeluh kesakitan, tapi nampaknya malam masih saja mengusik ketenangan Hasna dalam buaian mimpinya.
BRAKKKKKKK!!!!!!
Suara pohon tumbang terdengan beriringan dengan kehadiran petir dan halilintar. Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki berlari kecil menuju rumah di ujung asrama pondok ini.
Astagfirullah! Ada apa ini? batin Hasna
“Ukhti! Ayo keluar! Sepertinya ada pohon tumbang di sekitar pesantren.” Hasna membangunkan Farida yang masih terlelap.
“Iya...iya. Ayo keluar!” Seraya menarik jilbab, dipakaikanya untuk menutupi rambut panjangnya.
            Benar saja puluhan santri telah berkumpul di depan rumah umi Salma. Pohon beringin tua itu roboh menimpa teras rumah. Bersyukur tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Samar-samar Hasna melihat sosok laki-laki yang sedang berusaha mengangkat pohon itu bersama dengan santri-santri lainya. Tanpa sengaja mata mereka bertemu. Tidak ada yang spesial dalam pertemuan ini. Namun Hasna sempat melirik beberapa kali sosok tersebut, sampai tubuhnya hilang masuk kedalam rumah umi Salma.
***
            Suara keributan dari arah dapur terdengar sampai ke kamar Hasna. Hari sabtu, weekend bagi para mahasiswa dan tidak ada jam perkuliahan. Hasna bersiap diri untuk membantu umi Salma di ndalem. Akan ada tasyakuran kepulangan Kyai Rahman dari umroh.
Dengan penuh semangat, Hasna menata berbagai makanan di atas piring. Sampai suatu ketika sosok bayangan laki-laki itu muncul, memecah lamunan Hasna. Seketika tubuh Hasna kaku, jantungnya berasa mau copot. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
“Assalamualikum, lama tidak berjumpa Hasna...kaifa haaluki ya ukhti(Apa Kabar)?” Sapa laki-laki itu.
Laki-laki itu mengenalku, batin Hasna.
Ana bikhoir, akhi?(Saya baik, kamu(Lk)?).” Ucap Hasna dengan gugup.
“Alhamdulillah. Bagaimana kuliahmu Na? Aku dengar kamu ambil PPL di semester ini,”
“Iya akhi, biar lebih cepat lulus,” Jawabku.
“Semangat ya, semoga Allah senantiasa memudahkan jalanmu,” Ucapnya seraya meninggalkan Hasna.
Ya Rabb, siapa gerangan lelaki itu, dia begitu tahu tentang kehidupanku. Hasna mulai menebak, namun tak kunjung mengetahui namanya. Terbesit keinginaan untuk bertanya pada umi Salma, namun itu sama saja memperlakukan dirinya sendiri. Menanyakan seorang ikhwan di muka umum.
***
Suasana kampus IAIN sedang ramai oleh kampanye ketua BEM. Mading kampus dipenuhi profil para kandiditat ketua BEM. Hasna tidak banyak peduli pada pemilihan kali ini. Dia sudah disibukkan dengan persiapan PPL dan beberapa tugas semester yang sudah menantinya. Hari ini semua mahasiswa angkatan 2010 mendapat bimbingan dari dosen untuk keberangkatan PPL. Hasna tergesa-gesa menaiki tangga untuk mengejar waktu. Lima menit lagi dia akan terlambat, sungguh tidak ingin dia mempermalukan dirinya sendiri di depan orang banyak.
Bugg !!
Rok hasna terhimpit sepatunya sendiri ketika menaiki tangga, akibatnya dia terjatuh. Tubuhnya oleng dan jatuh terguling ke lantai bawah. Hasna tidak sadarkan diri, dalam beberapa menit kemudian tubuhnya sudah dikerumuni banyak mahasiswa di sekitar tangga.
            Hasna tersadar mendapati dirinya terbaring di rumah sakit. Tanganya di infus dan badanya berasa pegal-pegal semua. Ia mengingat jika dirinya jatuh dari tangga siang tadi, tapi siapa gerangan yang membawa Hasna ke rumah sakit. Hasna melihat sosok laki-laki yang pernah ditemuinya di rumah umi Salma. Dia sedang sholat di samping tempat tidur hasna.
Oh, laki-laki itu lagi, siapa dia...rasanya aku tak pernah mengenalnya, tapi kenapa dia muncul lagi, batin hasna.
Assalmualikum warahmatullah...” Laki-laki itu mengakhiri sholatnya
Ya Rabb, sembuhkanlah Hasna...jangan beri dia cobaan diluar batas kemampuanya. Hamba berjanji akan menjaga dan menyayanginya Ya Allah.”
Hasna yang mendengar doa itu, terkaget dibuatnya. Apa maksud doa lelaki itu, teka-teki ini belum juga terkuak. Hasna penasaran dibuatnya.
“Ukhti, sudah sadar? Alhamdulillah..orangtua ukhti sedang dalam perjalanan menuju kesini,” Ucapnya.
“Assalamualikum!” Suara ayah dan bunda memecah keheningan antara Hasna dan Rafa.
“Bagaimana keadaanmu, Nak? bunda tadi khawatir sekali mendengar Rafa telfon, kamu jatuh dari tangga,”
“Alhamdulillah sudah baikan. Mungkin perlu istirahat beberapa hari disini,” Jawab Hasna.
“Ya sykurlah. Terima kasih nak Rafa sudah menolong Hasna,” Ucap Bunda kemudian.
“Rafa pamit pulang dulu, syafakillah(Cepat sembuh) ya ukhti,” Ucap Rafa pada Hasna.
            Sepulang Rafa, bunda baru cerita jika Rafa ini teman kecilnya dulu. Dia pindah studi ke IAIN untuk melanjutkan S2. Hasna cukup mengenalnya. Bahkan Rafa pernah menjadi idolanya di waktu kecil. Sayang, kepindahan Rafa ke Kalimantan mengikuti orang tuanya memisahkan persahabatan mereka.
Rafa sudah tahu jika Hasna kuliah di IAIN, namun dia tidak ingin menggangunya. Takut jika Hasna telah melupakanya. Rafa sudah sering berkunjung ke rumah Hasna, namun itu semua dilakukan tanpa sepengetahuan Hasna. Rafa sengaja menyembunyikan identitasnya sampai Hasna menyadari sendiri, jika Rafa adalah sahabat masa kecilnya.
 “Bunda jahat, gag kasih tau Hasna,” Ucap Hasna.
“Itu permintaan Rafa sayang, tambah ganteng ya Rafa?”
“Iya bun, pasti banyak yang mau jadi istrinya,”
“Anak Bunda pasti mau kan?” Goda Bunda.
***
Bulan tersenyum malu menngantikan matahari. Malam mulai menyapa kota Semarang. Pintu-pintu rumah mulai tertutup, korden dan jendela tidak lagi melambai pada angin. Malam ini kota Semarang diselmuti gerimis. Syahdu sekali menyebut nama-Mu dalam iringan gerimis ya Rabb.
Dalam dzikir yang senantiasa Hasna lakukan, ia bermunajat pada Illahi Rabbi. Berharap kebaikan dan keselamatan senantiasa mengiringi langkah kakinya. Teringat Rafa, sudah seminggu sejak kepulanganya dari rumah sakit Hasna tidak lagi bertemu denganya. Ada rasa yang menggetarkan hati ketika menyebut namanya, rasa yang sulit di terjemahkan dalam untaian kata. Hasna tahu jika perasaanya pada Rafa muncul kembali, rasa sayang di waktu yang dulu.
Ya Rabb, ijinkan hamba merindu ciptaan-Mu,
Mencintainya dalam diam, Menyayanginya dengan hati yang ikhlas,
Ku tahu engakau Maha Pengasih lagi Maha Pemurah,
Kau limpahkan rasa ini atas Restu dan RidhoMu,
Akhi, Ana Ukhibbuka Fillah J
Hasna menangis dalam kebisuan malam, hatinya sakit menahan rindu. Rindu yang belum halal, rindu kepada sosok yang belum mahramya: Rafa!
***
“Kak rafa...kak?” Hasna mengejar laki-laki yang tergesa-gesa menuju perpustakaan.
“Iya Hasna. Ada apa?” Jawab laki-laki itu dengan lembut.
“Mmmm...Hasna mau minta tolong kak, bantuin Hasna buat kuesioner PPL,”
“Insyallah, ayo kita diskusi di perpus,” ajak Rafa.
            Berada dalam satu kampus, membuat Hasna sering bertemu Rafa. Kebersamaan mereka bukan lagi sebatas adik dan kakak. Rafa turut membantu tugas perkuliahan Hasna, begitu pula sebaliknya.  Mereka terlihat sebagai pasangan yang kompak, mulai terdengar beberapa mahasiswa menggunjingkan hubungan Hasna dan Rafa.
[Pesantren]
            Suasana pagi di pesantren masih di selimuti dengan bacaan Al-Qur’an. Para santri masih khidmat melantunkan ayat suci Al Qur’an. Hasna membuka jendela kamarnya, merasakan hangatnya angin yang memainkan ujung jilbabnya. Terlihat sosok Rafa memasuki rumah umi Salma. Akhir-akhir ini, Rafa sering mengunjungi umi Salma, namun Hasna tidak bisa menebak ada apa diantara mereka.
Mungkin hanya kunjungan biasa dari seorang santri, batin Hasna.
“Ukhti, sudah dengar berita belum,” Ucap Farida mengagetkan Hasna.
“Berita apa ukhti,” Tanya Hasna penasaran.
“Ukhti Farah, putri umi Salma yang nyantri di Lirboyo akan menikah,”
“Hari ini, keluarga calon suaminya datang untuk meminangnya,” Lanjut cerita Farida.
“Dengan siapa ukhti Farah akan menikah?”
“Kalau itu ana tidak tahu ukhti, hanya mendengar sebatas itu saja,”
***
            Suratan takdir illahi harus diterima Hasna dengan lapang. Laki-laki yang dicintainya ternyata calon menantu umi Salma. Hasna menangis meratapi nasibnya. Bagaimanapun juga dia harus ikhlas menerima. Hasna tidak sebanding dengan ukhti Farah : putri kyai, pintar, dan cantik. Beda jauh dengan dirinya saat ini. Hasna menyesali sikap bodohnya selama ini dengan Rafa, dia tidak menyadari jika laki-laki yang di cintainya ternyata milik orang lain.
“Dik hasna...ini ada titipan dari kang Rafa,” Somad tukang kebun pesantren memberikan sebuah surat merah jambu kepada Hasna.
Syukron(Terima Kasih) kang,”
Assalamualikum uhkti Hasna...     
Maaf atas kelancangan ana menulis surat ini. Ana minta maaf atas apa yang terjadi selama ini. Sejujurnya ana sudah mempersiapkan diri untuk melamar anti. Ukhtilah yang ana tunggu, ukhtilah yang menjadi alasan ana kembali ke Semarang. Namun takdir berkata lain, umi dan abah menjodohkan ana dengan ukhti Farida, putri kyai Rahman. Afwan uhkti, ana tidak bisa menjadi laki-laki pemberani untuk menolak perjodohan ini. Ana tidak ingin mengecewakan abah dan umi. Semoga anti mendapat calon yang lebik baik dari ana.
Wassalamualikum wr.wb
Rafa Syafaraz
Hasna memeluk erat surat pemberian Rafa. Tangisnya tak terbendung lagi, tumpah menjalar di pipi. Inilah skenario indah illahi, manusia boleh berencana, namun Allah punya rencana yang lebih indah.
            Hasna mengemasi barang di kamarnya. Hari ini dia ingin pulang ke rumah, bertemu dengan ayah dan bunda. Farida teman sekamarnya menangis pilu menatap prahara kisah cinta Hasna. Hasna tidak ingin terlalu lama meratapi kesedihanya, hidup harus tetap berjalan. Hasna pergi ke rumah Kyai Rahman, mohon izin untuk pulang ke rumah. Disana dia bertemu dengan ukhti Farida yang sedang membungkus undangan pernikahanya dengan Rafa.
 “Ukhti Hasna, ini undangan buat anti...datang ya.” Ucapnya dengan penuh senyuman.
Hati hasna bagai teriris pisau sembilu. Andai dia tahu seharusya namaku yang tercantum dalam undangan ini, batin Hasna
Hasna melangkahkan kaki keluar gerbang pesantren dengan deraian air mata. Sungguh indah rencana-Mu, Ya Rabb. Allahumma ajurny fi mushibaty wakhlufly khairan minha (Ya Allah berilah pahala pada musibahku dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya). Doa hasna dalam hati.


***END***