Mahabbah
Rindu Dibalik Penjara Suci
Ya Sayyidi Ya Rasululaah, Ya Man lahul Jaa ‘Indallah,
Innal Musii Inna Qodja’uu, Lidzambi Ya Astagfirunallah,
Ya Sayyidar Rusli Ya Thohir, Ya Ghoyatal Qosdhi Wasyani,
Sholla ‘Alaikal ‘Alal Qodiir, Fikulli Waakhtim Wa Ahyani....
Gema takbir dan sholawat memenuhi Masjid Baitussholihin. Tiada
henti menyeru dan menyebut asma Allah dan Rasul-Nya. Hasna Zharifa, satriwati
baru di Pondok Pesantren Darul Falah terlihat berjalan menyusuri lorong sempit
yang menghubungkanya dengan rumah kyai Rahman. Sembari berdialog dengan
hatinya, Hasna teringat pertengkaran dengan ayahnya sebulan lalu. Beliau menolak
keras permintaanya untuk nyantri disini. Namun bundanya mendukung rencana
tersebut. Berbekal restu bundanya, Hasna berangkat mencari ilmu di pesantren.
Sesampainya di ndalem
(Sebutan rumah) Kyai Rahman, umi Salma menyambut kedatangan Hasna dengan
sukacita. Umi Salma ini istri dari kyai Rahman, pemilik Ponpes Darul Fallah. Sosok
yang sudah tidak asing lagi bagi Hasna, karena umi Salma ini teman dari
bundanya sendiri.
“Assalmualaikum, umi,”
“Waalaikumsalam. Ada apa Hasna?” ucap umi Salma.
“Hasna ingin mengembalikan Kitab Alfiyah ini Umi,”
“Sudah beli yang baru Na. Besok bantuin Umi di ndalem ya...akan ada syukuran, Abah
pulang umroh,”
“Insyallah...Hasna pamit Umi. Assalamualaikum!” Ucap Hasna
seraya meninggalkan umi Salma.
***
Suasana pesantren begitu nyaman dan sejuk bagi Hasna,
suasana yang menggetarkan hatinya untuk terus menyebut asma Allah. Istilah
penjara suci memang pantas di sandang pesantren yang menjadi tempat menimba
ilmu agama. Jauh dari keluarga, tinggal dalam asrama, bertemu dengan
kawan-kawan dari seluruh penjuru nusantara. Saling berbagi dan kebersamaan
begitu kuat terjalin di lingkungan para santri. Mereka semua semata-mata belajar
agama hanya mengharap ridho illahi.
Selepas isya’, Hasna mengikuti kajian kitab kuning ‘Qurotul Uyun’ oleh umi Salma.
Terkantuk-kantuk dia ngapsahi
kitabnya. Maklum saja, Hasna masih menjadi mahasiswa di IAIN Walisongo.
Kesibukanya di kuliah menuntut ia untuk sering begadang mengerjakan tugasnya.
“Ukhti(panggilan perempuan)Hasna...bangun,” bisik seorang
gadis cantik disampingnya.
“Iya ukhti, sudah
selesai kajianya?” tanya Hasna pada gadis yang bernama Farida.
“Sudah ukhti. Mari kembali ke kamar...ukhti kelihatan
capek sekali,”
Memasuki
semester 6 benar-benar menyita kesibukan Hasna. Persiapan PPL, KKN dan skrispsi
mulai menjadi pekerjaan dalam waktu dekat ini. Ia seringkali bolos kajian dan
meninggalkan kegiatan di pesantren. Hasna ingin membuktikan pada Ayah dan Bundanya
bahwa kuliah sekaligus nyantri itu bisa dilakukan bersama. Namun Hasna tidak
bisa menutupi kegundahan hatinya, ia terlampau lelah melakukan rutinitasnya,
menjadi mahasiswa dan seorang santriwati.
“Ukhti Farida, besok pondok jadi ada tasyakuran abah
Rahman,” tanya Hasna
“Iya ukhti, bukanya umi Salma sudah berpesan untuk
membantunya dalam acara itu,” Jawabnya.
“Iya, tidak sepantasnya kita tidak hadir ya ukhti,” Jawab
Hasna sembari merebahkan badanya di kasur. Berharap pagi datang lebih lambat. Hasna
ingin total istirahat. Badanya sudah mengeluh kesakitan, tapi nampaknya malam masih
saja mengusik ketenangan Hasna dalam buaian mimpinya.
BRAKKKKKKK!!!!!!
Suara pohon tumbang terdengan beriringan dengan kehadiran
petir dan halilintar. Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki berlari kecil
menuju rumah di ujung asrama pondok ini.
Astagfirullah!
Ada apa ini? batin Hasna
“Ukhti! Ayo keluar! Sepertinya ada pohon tumbang di
sekitar pesantren.” Hasna membangunkan Farida yang masih terlelap.
“Iya...iya. Ayo keluar!” Seraya menarik jilbab, dipakaikanya
untuk menutupi rambut panjangnya.
Benar
saja puluhan santri telah berkumpul di depan rumah umi Salma. Pohon beringin
tua itu roboh menimpa teras rumah. Bersyukur tidak ada korban jiwa dalam
peristiwa ini. Samar-samar Hasna melihat sosok laki-laki yang sedang berusaha
mengangkat pohon itu bersama dengan santri-santri lainya. Tanpa sengaja mata mereka
bertemu. Tidak ada yang spesial dalam pertemuan ini. Namun Hasna sempat melirik
beberapa kali sosok tersebut, sampai tubuhnya hilang masuk kedalam rumah umi Salma.
***
Suara
keributan dari arah dapur terdengar sampai ke kamar Hasna. Hari sabtu, weekend bagi para mahasiswa dan tidak
ada jam perkuliahan. Hasna bersiap diri untuk membantu umi Salma di ndalem. Akan ada tasyakuran kepulangan Kyai
Rahman dari umroh.
Dengan penuh semangat, Hasna menata berbagai makanan di
atas piring. Sampai suatu ketika sosok bayangan laki-laki itu muncul, memecah
lamunan Hasna. Seketika tubuh Hasna kaku, jantungnya berasa mau copot. Keringat
dingin mulai membasahi tubuhnya.
“Assalamualikum, lama tidak berjumpa Hasna...kaifa haaluki ya ukhti(Apa Kabar)?” Sapa
laki-laki itu.
Laki-laki itu
mengenalku, batin Hasna.
“Ana bikhoir, akhi?(Saya
baik, kamu(Lk)?).” Ucap Hasna dengan gugup.
“Alhamdulillah. Bagaimana kuliahmu Na? Aku dengar kamu
ambil PPL di semester ini,”
“Iya akhi, biar
lebih cepat lulus,” Jawabku.
“Semangat ya, semoga Allah senantiasa memudahkan
jalanmu,” Ucapnya seraya meninggalkan Hasna.
Ya Rabb, siapa
gerangan lelaki itu, dia begitu tahu tentang kehidupanku. Hasna mulai menebak, namun tak kunjung mengetahui
namanya. Terbesit keinginaan untuk bertanya pada umi Salma, namun itu sama saja
memperlakukan dirinya sendiri. Menanyakan seorang ikhwan di muka umum.
***
Suasana kampus IAIN sedang ramai oleh kampanye ketua BEM.
Mading kampus dipenuhi profil para kandiditat ketua BEM. Hasna tidak banyak
peduli pada pemilihan kali ini. Dia sudah disibukkan dengan persiapan PPL dan
beberapa tugas semester yang sudah menantinya. Hari ini semua mahasiswa
angkatan 2010 mendapat bimbingan dari dosen untuk keberangkatan PPL. Hasna
tergesa-gesa menaiki tangga untuk mengejar waktu. Lima menit lagi dia akan
terlambat, sungguh tidak ingin dia mempermalukan dirinya sendiri di depan orang
banyak.
Bugg !!
Rok hasna terhimpit sepatunya sendiri ketika menaiki
tangga, akibatnya dia terjatuh. Tubuhnya oleng dan jatuh terguling ke lantai
bawah. Hasna tidak sadarkan diri, dalam beberapa menit kemudian tubuhnya sudah
dikerumuni banyak mahasiswa di sekitar tangga.
Hasna
tersadar mendapati dirinya terbaring di rumah sakit. Tanganya di infus dan badanya
berasa pegal-pegal semua. Ia mengingat jika dirinya jatuh dari tangga siang
tadi, tapi siapa gerangan yang membawa Hasna ke rumah sakit. Hasna melihat
sosok laki-laki yang pernah ditemuinya di rumah umi Salma. Dia sedang sholat di
samping tempat tidur hasna.
Oh, laki-laki
itu lagi, siapa dia...rasanya aku tak pernah mengenalnya, tapi kenapa dia
muncul lagi, batin hasna.
“Assalmualikum
warahmatullah...” Laki-laki itu mengakhiri sholatnya
“Ya Rabb,
sembuhkanlah Hasna...jangan beri dia cobaan diluar batas kemampuanya. Hamba
berjanji akan menjaga dan menyayanginya Ya Allah.”
Hasna yang mendengar doa itu, terkaget dibuatnya. Apa
maksud doa lelaki itu, teka-teki ini belum juga terkuak. Hasna penasaran dibuatnya.
“Ukhti, sudah sadar? Alhamdulillah..orangtua ukhti sedang
dalam perjalanan menuju kesini,” Ucapnya.
“Assalamualikum!” Suara ayah dan bunda memecah keheningan
antara Hasna dan Rafa.
“Bagaimana keadaanmu, Nak? bunda tadi khawatir sekali
mendengar Rafa telfon, kamu jatuh dari tangga,”
“Alhamdulillah sudah baikan. Mungkin perlu istirahat
beberapa hari disini,” Jawab Hasna.
“Ya sykurlah. Terima kasih nak Rafa sudah menolong Hasna,”
Ucap Bunda kemudian.
“Rafa pamit pulang dulu, syafakillah(Cepat sembuh) ya ukhti,” Ucap Rafa pada Hasna.
Sepulang
Rafa, bunda baru cerita jika Rafa ini teman kecilnya dulu. Dia pindah studi ke
IAIN untuk melanjutkan S2. Hasna cukup mengenalnya. Bahkan Rafa pernah menjadi
idolanya di waktu kecil. Sayang, kepindahan Rafa ke Kalimantan mengikuti orang
tuanya memisahkan persahabatan mereka.
Rafa sudah tahu jika Hasna kuliah di IAIN, namun dia
tidak ingin menggangunya. Takut jika Hasna telah melupakanya. Rafa sudah sering
berkunjung ke rumah Hasna, namun itu semua dilakukan tanpa sepengetahuan Hasna.
Rafa sengaja menyembunyikan identitasnya sampai Hasna menyadari sendiri, jika Rafa
adalah sahabat masa kecilnya.
“Bunda jahat, gag
kasih tau Hasna,” Ucap Hasna.
“Itu permintaan Rafa sayang, tambah ganteng ya Rafa?”
“Iya bun, pasti banyak yang mau jadi istrinya,”
“Anak Bunda pasti mau kan?” Goda Bunda.
***
Bulan tersenyum malu menngantikan matahari. Malam mulai
menyapa kota Semarang. Pintu-pintu rumah mulai tertutup, korden dan jendela
tidak lagi melambai pada angin. Malam ini kota Semarang diselmuti gerimis. Syahdu sekali menyebut nama-Mu dalam iringan
gerimis ya Rabb.
Dalam dzikir yang senantiasa Hasna lakukan, ia bermunajat
pada Illahi Rabbi. Berharap kebaikan
dan keselamatan senantiasa mengiringi langkah kakinya. Teringat Rafa, sudah
seminggu sejak kepulanganya dari rumah sakit Hasna tidak lagi bertemu denganya.
Ada rasa yang menggetarkan hati ketika menyebut namanya, rasa yang sulit di
terjemahkan dalam untaian kata. Hasna tahu jika perasaanya pada Rafa muncul
kembali, rasa sayang di waktu yang dulu.
Ya Rabb,
ijinkan hamba merindu ciptaan-Mu,
Mencintainya
dalam diam, Menyayanginya dengan hati yang ikhlas,
Ku tahu
engakau Maha Pengasih lagi Maha Pemurah,
Kau limpahkan
rasa ini atas Restu dan RidhoMu,
Akhi, Ana
Ukhibbuka Fillah J
Hasna menangis dalam kebisuan malam, hatinya sakit
menahan rindu. Rindu yang belum halal, rindu kepada sosok yang belum mahramya:
Rafa!
***
“Kak rafa...kak?” Hasna mengejar laki-laki yang
tergesa-gesa menuju perpustakaan.
“Iya Hasna. Ada apa?” Jawab laki-laki itu dengan lembut.
“Mmmm...Hasna mau minta tolong kak, bantuin Hasna buat
kuesioner PPL,”
“Insyallah, ayo kita diskusi di perpus,” ajak Rafa.
Berada
dalam satu kampus, membuat Hasna sering bertemu Rafa. Kebersamaan mereka bukan
lagi sebatas adik dan kakak. Rafa turut membantu tugas perkuliahan Hasna,
begitu pula sebaliknya. Mereka terlihat
sebagai pasangan yang kompak, mulai terdengar beberapa mahasiswa menggunjingkan
hubungan Hasna dan Rafa.
[Pesantren]
Suasana
pagi di pesantren masih di selimuti dengan bacaan Al-Qur’an. Para santri masih
khidmat melantunkan ayat suci Al Qur’an. Hasna membuka jendela kamarnya,
merasakan hangatnya angin yang memainkan ujung jilbabnya. Terlihat sosok Rafa memasuki
rumah umi Salma. Akhir-akhir ini, Rafa sering mengunjungi umi Salma, namun Hasna
tidak bisa menebak ada apa diantara mereka.
Mungkin hanya
kunjungan biasa dari seorang santri,
batin Hasna.
“Ukhti, sudah dengar berita belum,” Ucap Farida mengagetkan
Hasna.
“Berita apa ukhti,” Tanya Hasna penasaran.
“Ukhti Farah, putri umi Salma yang nyantri di Lirboyo akan
menikah,”
“Hari ini, keluarga calon suaminya datang untuk
meminangnya,” Lanjut cerita Farida.
“Dengan siapa ukhti Farah akan menikah?”
“Kalau itu ana tidak tahu ukhti, hanya mendengar sebatas
itu saja,”
***
Suratan takdir illahi harus diterima
Hasna dengan lapang. Laki-laki yang dicintainya ternyata calon menantu umi Salma.
Hasna menangis meratapi nasibnya. Bagaimanapun juga dia harus ikhlas menerima.
Hasna tidak sebanding dengan ukhti Farah : putri kyai, pintar, dan cantik. Beda
jauh dengan dirinya saat ini. Hasna menyesali sikap bodohnya selama ini dengan
Rafa, dia tidak menyadari jika laki-laki yang di cintainya ternyata milik orang
lain.
“Dik hasna...ini ada titipan dari kang Rafa,” Somad
tukang kebun pesantren memberikan sebuah surat merah jambu kepada Hasna.
“Syukron(Terima Kasih) kang,”
Assalamualikum
uhkti Hasna...
Maaf
atas kelancangan ana menulis surat ini. Ana minta maaf atas apa yang terjadi
selama ini. Sejujurnya ana sudah mempersiapkan diri untuk melamar anti.
Ukhtilah yang ana tunggu, ukhtilah yang menjadi alasan ana kembali ke Semarang.
Namun takdir berkata lain, umi dan abah menjodohkan ana dengan ukhti Farida, putri
kyai Rahman. Afwan uhkti, ana tidak bisa menjadi laki-laki pemberani untuk
menolak perjodohan ini. Ana tidak ingin mengecewakan abah dan umi. Semoga anti
mendapat calon yang lebik baik dari ana.
Wassalamualikum
wr.wb
Rafa Syafaraz
Hasna memeluk erat surat pemberian Rafa. Tangisnya tak
terbendung lagi, tumpah menjalar di pipi. Inilah skenario indah illahi, manusia
boleh berencana, namun Allah punya rencana yang lebih indah.
Hasna
mengemasi barang di kamarnya. Hari ini dia ingin pulang ke rumah, bertemu
dengan ayah dan bunda. Farida teman sekamarnya menangis pilu menatap prahara
kisah cinta Hasna. Hasna tidak ingin terlalu lama meratapi kesedihanya, hidup
harus tetap berjalan. Hasna pergi ke rumah Kyai Rahman, mohon izin untuk pulang
ke rumah. Disana dia bertemu dengan ukhti Farida yang sedang membungkus undangan
pernikahanya dengan Rafa.
“Ukhti Hasna, ini undangan
buat anti...datang ya.” Ucapnya dengan penuh senyuman.
Hati hasna
bagai teriris pisau sembilu. Andai dia tahu seharusya namaku yang tercantum
dalam undangan ini, batin Hasna
Hasna melangkahkan kaki keluar gerbang pesantren dengan
deraian air mata. Sungguh indah rencana-Mu, Ya Rabb. Allahumma ajurny fi
mushibaty wakhlufly khairan minha (Ya Allah berilah pahala pada
musibahku dan gantikanlah dengan
yang lebih baik darinya). Doa hasna dalam hati.
***END***